Semenjak Covid-19, ekonomi Indonesia berjalan sangat lambat, berbagai upaya untuk memulihkan ekonomi nasional dilakukan. Tetapi hasilnya tidak seperti diharapkan walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5 persen pertahun tetapi kelas menengah pasca Covid-19 semakin tertekan keadaannya dan terjadi PHK massal dimana-mana. Industri manufaktur tutup. Perang Ukraina vs Rusia dan perang di kawasan Timur Tengah yang membuat harga energi menjadi mahal dan memukul ekspor membuat daya saing global Indonesia di bidang perdagangan menurun.
Berbicara industri manufaktur bangkrut karena memang sejak lama industri manufaktur kita masih banyak mempertahankan mesin-mesin lama untuk memproduksi produk. Trend teknologi di industri manufaktur dunia, banyak pabrik tidak segera meng-upgrade nya dengan alasan masih layak pakai untuk dipertahankan. Ini semua memicu pengembangan inovasi produk - produk baru terhambat. Belum lagi banyak kebijakan yang tumpang tindih sehingga menyulitkan pengusaha untuk berekspansi ke arah yang lebih jauh dan industri kita hanya membuka permintaan ekspor bukan mempunyai bagaimana menguasai dan mengendalikan pasar dunia. Sehingga produksi dilakukan hanya mengikuti trend pasar.
Investasi di sektor SDM juga sangat kurang, sehingga banyak industri manufaktur memperkerjakan low skilled employee dan mereka yang bekerja sudah puluhan tahun juga hanya diberikan pelatihan seadanya hanya untuk kewajiban SOP dan KPI perusahaan tanpa adanya pengembangan ke arah mana para pekerja akan diarahkan. Sementara' negara tetangga seperti.Philipina, Vietnam dan Malaysia terus memperbaiki kualitas SDM mereka untuk menyediakan tenaga ahli bagi perusahaan-perusahaan global yang ingin berinvestasi di negara-negara tersebut. Di Indonesia masih terus bagaimana cara memperbaiki iklim investasi yaitu menawarkan tenaga kerja berupah rendah, kebijakan pajak rendah, tetapi lupa untuk menaikan kualitas SDM di bidang industri.
Ini yang menjadi kelemahan pemerintah Indonesia dalam bersaing dengan sesama negara-negara ASEAN dalam menjadi pusat kekuatan riset industri. Akibatnya perusahaan global berpengaruh seperti Tesla dan Apple tidak tertarik untuk berinvestasi di sektor manufaktur dan Apple hanya berminat untuk investasi dalam Apple Academy untuk mendidik generasi muda Indonesia menjadi programmer yang mempunyai keahlian sesuai standar Apple.
Fokus pemerintah masih memakai cara lama yaitu investasi harus bisa membuka lapangan kerja dengan merekrut banyak orang. Sementara itu trend industri dunia sudah berubah yaitu lebih ke arah Smart Factory yang hampir 90 persen pekerjaan adalah otomasi oleh robot yang diprogram sehingga hasilnya lebih cepat dan biaya produksi lebih rendah. Itu menyulitkan produk-produk Indonesia mampu bersaing di dunia global karena harga yang ditawarkan lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara yang telah menerapkan konsep industri 5.0 yaitu kolaborasi manusia-robot-AI dalam bekerja disebuah pabrik.
Pemerintah fokus pada digitalisasi di bidang IT, sementara dunia digitalisasi di bidang robotik karena hampir 80 persen proses bekerja di lakukan oleh robot sedangkan manusia hanya sebagai pengawas jika ada hal yang salah dalam pengembangan dan pengerjaan. Tenaga kerja manusia lebih bersifat sebagai Supervisor sedangkan untuk tenaga kerja di lapangan adalah robot, pemerintah sedikit maju mundur menghadapi perubahan industri jika ini diterapkan maka angka pengangguran semakin meningkat dan itu akan menyebabkan demonstrasi di seluruh Indonesia tetapi yang menjadi korban adalah daya saing industri Indonesia hancur karena orang tidak bersedia membeli harga lebih mahal dan proses kerja yang lama serta logistik yang berbiaya tinggi. Akhirnya industri orientasi ekspor dan lokal satu persatu menyatakan bangkrut dan PHK karyawan.
Industri 5.0 dan Industri 6.0 Analisis.
SEPTO INDARTO's WA 0877 8301 2391.
Comments
Post a Comment